Pendidikan
adalah kegiatan seseorang/sekelompok orang /lembaga dalam membantu
individu/sekelompok orang untuk mencapai tujuan pendidikan. Tugas pendidikan
tidak hanya menuangkan sejumlah informasi ke dalam diri siswa tetapi bagaimana mengembangkan pemikiran siswa
tentang konsep-konsep penting yang telah dipelajari agar dapat bermanfaat
terutama bagi dirinya dan dapat mengembangkan karakter siswa. Namun proses
pendidikan yang telah berjalan mengundang berbagai kriktik yaitu pandangan
terhadap sekolah sebagai alat transformasi pendidikan yang salah satunya
diungkapkan oleh Freire. Beliau mengatakan bahwa sekolah selama ini
menjadi ”penjinakan” yang memanipulasi peserta didik agar mkereka dapat
diperalat untuk melayani kepentingan kelompok yang berkuasa. Dengan adanya
kritik tersebut, keberadaan sekolah sebagai lembaga pendidikan yang dangat
berpengaruh terhadap perkembangan suatau bangsa harus benar-benar menunjukan dan
membuktikan bahwa belajar bukan hany proses transformasi dari guru ke siswa,
tetapi juga upaya pengembangan potensi siswa berdasarkan atas kebutuhan dan
kemampuan yang dimiliki oleh siswa.
Sekitar
abad 20 terjadi perubahan besar mengenai konsepsi pendidikan dan pengajaran.
Hal itu tentunya berpengaruh tentang proses pendidikan dimana cara belajar dan
mengajar di sekolah disesuaikan pandangan baru mengenai konsepsi pendidikan dan
pengajaran. Murid pada awalnya hanya mengalami proses belajar satu arah yaitu
hanya menerima transfer ilmu dari guru dengan cara pasif atau seperti hanya
mendengarkan ”ceramah” dan menerima apa saja yang disuguhkan oleh guru tentu
saja hal tersebut akan membatasi perkembangan daya pikir murid dimana
seharusnya guru memberikan banyak kesemapatan pada murid untuk berfikir dan
mengembangkan fikirannya tersebut. Salah satu hal yang harus dilakukan guru
adalah melakukan reformasi di dalam cara mengajar kepada peserta didik. Untuk
melakukan reformasi tersebut berikut ini merupakan beberapa teori belajar dari
berbagai pemikiran yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembelajaran di
sekolah:
I.
TEORI BELAJAR HUMANISTIK
Pelopor dari teori ini adalah Jurgen Habermas. Menurut teori ini proses belajar harus dimulai dan
ditujukan untuk kepentingan memenusiakan manusia. Humanisasi atau memanusiakan
manusia yaitu suatu upaya membantu manusia untuk dapat bereksistensi sesuai
dengan martabatnya sebagai manusia (mampu merealisasikan hakikatnya secara
total, oleh karenanya pendidikan merupakan upaya yang bertitik tolak pada
hakiakat manusia). Teori humanistic sangat mementingkan isi yang dipelajari
daripada proses belajar itu sendiri. Dalam pelaksanaannya tampak pada
pendekatan belajar yang dikemukakan Ausbel
tentang belajar bermakna atau meaningful
learning, mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi
yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya.
Teori humanistic berpendapat bahwa teori belajar
apapun dapat dimanfaatkan asal tujuannya memanusiakan manusia; mencapai
aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar
secara optimal. Teori humanistic dengan pandangannya yang sangat manusiawi,
yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan
tujuan untuk memanusiakan manusia bukan saja mungkin untuk dilakukan, tetapi
justru harus dilakukan. Berikut beberapa pandangan para tokoh humanistic:
1.
Pandangan Kolb Terhadap Belajar
Kolb membagi empat tahap-tahap
belajar. Tahap Pengalaman Konkret, yaitu
tahap awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu mengalami suatu
peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat melihat dan
merasakannya, dapat menceritakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang
dialaminya. Namun, dia belum memiliki kesadaran tentang hakikat dari peristiwa
tersebut.
Tahap pengamatan Aktif dan Reflektif,
yaitu tahap kedua dalam peristiwa belajar bahwa seseorang makin lama akan
semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang
dialaminya. Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya dengan
mengmbangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana dan mengapa hal itu bias/mesti
terjadi. Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya semakin berkembang.
Tahap Konseptualisasi. Sesorang sudah
mulai berupaya untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau
hokum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi objek perhatiaanya. Berfikir
induktif banyak dilakukan untuk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi
dari berbagai contoh peristiwa yang dialaminya.
Tahap Eksperimen Aktif, melakukan
eksperimentasi secara aktif. Pada tahap ini seseorang sudah mampu
mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi
nyata. Berfikir deduktif banyak dilakukan untuk mempraktekkan dan menguji
teori-teori serta konsep di lapangan.
2.
Pandangan Honey dan Mumford Terhadap Belajar
Honey dan Mumford yang pandangannya diilhami oleh
pandangan Kolb menggolongkan orang yang belajar ke dalam empat macam atau
golongan: Kelompok Aktivis, mereka
yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan
dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Mudah diajak
berdialog (komunikatif), memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat orang
lain, namun dalam melakukan suatu tindakan sering kali kurang pertimbangan yang
matang dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri.
Metode yang cocok adalah problem solving,
brainstorming.
Kelompok
Reflektor, di dalam melakukan suatu tindakan
orang-orang tipe ini sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan.
Pertimbangan-pertimbangan baik-buruk dan untung-rugi, selalu diperhitungkan
dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang demikian tidak mudah
dipengaruhi sehingga mereka cenderung bersifat konservatif.
Kelompok Teoris.
Memiliki kecenderungan yang sangat kritis, suka
menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala
sesuatu sering dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hokum-hukum,
mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif.
Orang-orang demikian penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis dan tidak
menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif.
Kelompok
Pragmatis. Memiliki sifat-sofat praktis, tidak suka
berbicara dan membahas sesuatu dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil,
dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu
yang nyata dan dapat dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat
dipraktekkan. Teori, konsep, dalil, memang penting tetapi semua tidak ada
gunanya apabila tidak dapat dengan mudah dilaksanakan. Bagi mereka, sesuatu
adalah abaik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan
manusia.
3.
Pandangan Habermas Terhadap Belajar
Habermas adalah tokoh humanis yang memiliki banyak
pengaruh terhadap teori belajar humanistic. Menurutnya belajar baru akan
terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan
yang dimaksud adalah lingkungan alam maupum lingkungan sosialnya. Habermas
mebagi tipe belajar menjadi tiga bagian: Belajar
Teknis, belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan
alamnya secara benar. Pengetahuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan dan
perlu dipelajari agar mereka dapat menguasai dan mengelola lingkungan alam
sekitarnya dengan baik. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu alam atau lainnnya sangat
dipentingkan dalam belajar teknis.
Belajar Praktis,
belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi
dengan lingkungan sosialnya, yaitu, dengan orang-orang di sekelilingnya dengan
baik. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang
harmonis antar sesame manusia. Bidang-bidang ilmu yang berhubungan dengan
sosiologi, psikologim antropologi, dan semacamnya sangat diperlukan.
Belajar
Emansipatoris, menekankan upaya agar seseorang mencapai
suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau
transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Ilmu-ilmu yang berhubungan
antara budaya dan bahasa amat diperlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap
transformasi cultural inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tahap belajar
yang paling tinggi, sebab transformasi cultural adalah tujuan pendidikan yang
paling tinggi.
4.
Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran
Semua komponen pendidikan termasuk di dalamnya tujuan
pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang
dicita-citakan, yaitu manusia yang mampu mecapai aktualisasi diri. Teori
belajar Humanistik akan sangat embantu para pendidik menentukan
komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan, penentuan materi,
pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan alat evaluasi ke arah
pembentukan manusia yang dicitak-citakan tersebut.
Langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan teori
humanistic yaitu:
a)
Menentukan tujan-tujuan pembelajaran
b)
Menentukan materi pembelajaran
c)
Mengidentifikasi kemampuan awal
peserta didik
d)
Mengidentifikasi topic-topik
pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri dalam belajar
e)
Merancang fasilitas belajar
seperti lingkungan dan media pembelajaran
f)
Membimbing siswa belajar secara
aktif
g)
Membimbing siswa untuk memahami
hakikat atau makna dari pengalaman belajarnya
h)
Membimbing siswa membuat
konseptualisasi pengalaman belajarnya
i)
Membimbing siswa dalam
mengaplikasikan konsep-konsep baru ke dalam situasi nyata
j)
Mengevaluasi proses dan hasil
belajar.
II.
PANDANGAN PROGESIF DALAM PEMBELAJARAN
Berdasarkan studi psikologi belajar yang baru beserta
sosiologi masyarakat pendidikan menghendaki agar pengajaran memperhatikan
minat, kebutuhan dan kesiapan anak didik untuk belajar, serta dimaksudkan untuk
mencapa tujuan-tujuan social sekolah. Salah satu teori yang menekankan
pentingnya kesiapan anak untuk belajar adalah teori belajar progresif yang
salah satunya dikemukakan oleh John Dewey.
Teori progresivisme merupakan perluasan dari pikiran-pikiran pragmatisme
pendidikan. Terori ini memandang peserta didik sebagai makhluk social yang
aktif dan dia percaya bahwa peserta didik ingin memahami lingkungan dimana ia
berada, baik lingkungan kehidupan manusia secara personal maupun social.
Dewey menyebutkan tiga tingkatan kegiatan yang biasa
dipergunakan di sekolah; Tingkatan
pertama, untuk anak pada pendidikan prasekolah diperlukan latihan berkenaan
dengan pengembangan koordinasi fisik. Tingkatan
kedua, menggunakan bahan belajar yang bersumber dasri lingkungan. Tingkatan ketiga, anak menemukan
ide-ide atau gagasan, mengujinya, dan menggunakan ide-ide atau gagasan tersebut
untuk memecahkan masalah persoalan yang sama.
Pikiran-pikiran progresivisme berbeda dalam cara
pandang terhadap pendidikan tradisional, dalam hal;
1)
Guru yang memiliki kendali
dalam pembelajaran
2)
Hanya percaya bahwa buku
sebagai satu-satunya sumber informasi
3)
Belajar yang pasif, dan
cenderung tidak factual
4)
Memisahkan sekolah dengan
masyarakat
5)
Menggunakan hukuman fisik dalam
menegakkan kedisiplinan.
Terdapat lima
prinsip pendidikan progresivf, yaitu;
1)
Berikan kebebasan kepada anak
untuk berkembang secara alamiah
2)
Minat, dan pengalaman langsung
merupkan rangsanagan yang paling baik untuk belajar
3)
Guru memiliki peran sebgai
narasumber dan pebimbing kegiatan belajar
4)
Mengembangkan kerja sama antara
sekolah dengan keluarga
5)
Sekolah progresif harus menjadi
laboratorium reformasi dan pengujian pendidikan.
III.
PANDANGAN SOSIOKULTURAL KONTRUKTIVIS DALAM PENDIDIKAN
Salah satu bagian dari revolusi pendidikan adalah
teori pembelajaran kontruktivis. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide
bahwa siswa harus secara individu menemukan dan mentransfer informasi-informasi
komples, apabila mereka harus menjadikan tiu menjadi miliknya sendiri. Teori
konstruktivis memandang siswa secara terus menerus memerikasa
informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan merevisi
aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi, karena penekanannya pda siswa
(yang aktif), maka strategi konstruktivis sering disebut pengajaran yang
terpusat pada siswa atau student-centered
instruction.
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompok
dalam teori pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning).
Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai.
Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka
harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya,
berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan
informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin
dalam Nur, 2002: 8).
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang
paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar
memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan
di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan
memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka
sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi
mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa
siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus
memanjat anak tangga tersebut ( Nur, 2002 :8).
Terdapat empat prinsip kunci yang diturunkan dari
konstruktivis modern. Pertama,
penekananya pada hakikat social dari pembelajaran. Kedua, ide bahwa belajar paling baik apabila konsep itu berada
dalam zona perkembangan mereka. Ketiga,
adanya penekanan pada keduanya, yaitu hakikat social dari belajar dan zona
perkembangan terdekat yang dinamakan dengan pemagangan kognitif. Keempat, pada proses pembelajran
menekankan kemandirian atau belajar menggunakan media.
Menurut teori konstruktivis, pengetahuan bukanlah
kumpulan fakta dari suatu kenyatan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai
konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya.
Von Galserfeld, mengemukakan beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses
mengonstruksi pengetahuam yaitu;
1)
Kemampuan mengingat dan
mengungkapkan kembali pengalaman,
2)
Kemampuan membandingkan dan
mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan
3)
Kemampuan untuk lebih menyukai
suatu pengalaman yang satu daripada yang lainnya.
IV.
PANDANGAN KI HAJAR DEWANTORO TERHADAP PENDIDIKAN
Salah satu pikiran Ki Hajar Dewantoro tentang
pendidikan diwujudkan dalam benuk Taman Siswa. Taman Siswa merupakan badan
perguruan yang sudah diselaraskan dengan kepentingan dan keperluan rakyat, di
samping itu rakyat diberikan kesempatan untuk memberikan kintribusi terhadap
lembaga tersebut. Lahirnya pendidikan Taman Siswa juga didilhami oleh model
pendidikan barat yang tidak menyelesaikan persoalan peningkatan kualitas sumber
daya manusia waktu itu. Menurutnya pendidikan barat memiliki ciri: perintah,
hukuman, dan ketertiban. Model pendekatan seperti itu menurut Ki Hajar
Dewantoro merupakan salah satu pemerkosaan terhadap kehidupan batin anak-anak.
Dasar pendidikan yang digunakan di Taman Siswa adalah Momong, Among dan Ngemong. Beberapa falsafah yang dikemukakan Ki Hajar
Dewantoro berkenaan dengan pendidikan:
1)
Segala alat, usaha dan juga
cara pendidikan harus sesuai denga
kodratnya
2)
Kodratnya itu dalam
adapt-istiadat setiap masyarakat dengan berbagai kekhasan, yang kesemuanya itu
bertujuan untuk mencapai hidup tertib dan damai
3)
Adapt istiadat sifatnya selalu
berubah (dinamis)
4)
Untuk mengetahui karakteristik
masyarakat saat ini diperlukan kajian mendalam tentang kehidupan masyarakat
tersebut di masa lampau sehingga dapat dipe\rediksi kehidupan yang akan datang
pada masyarakat tersebut.
5)
Perkembangan budaya masyarakat
akan dipengaruhi oleh unsure-unsur lain, hal ini terjadi karena terjadinya
pergaulan antar bangsa.
Pendidikan nasional menurut Taman Siswa adalah
pendidikan yang beralaskan garis hidup dari biasanya dan ditujukan untuk
kepentingan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya,
agar da[at bekerja bersama-sama dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap
manusia di seluruh dunia. Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantoro adalah tuntutan
di dalam tumbuh dan berkembangnya anak-anak. Maksud pendidikan adalah menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar merka sebagai manusia
dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya. Beberapa kata penting yang digaris bawahi Ki Hajar
Dewantoro , bahwa pendidikan itu hanya tuntutan, di dalam tumbuh dan
berkembangnya anak-anak. Ini mengandung arti bahwa tumbuh dan berkembangnya
anak-anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak guru/pendidik.
Beberapa butir pokok pendidian yang dikemukakan Ki
Hajar Dewantoro menurut Tilaar (2000:68-71):
1)
Bahwa kebudayaan tidak dapat
dipisahkan dari pendidikan, bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar
pendidikan.
2)
Kebudayaan yang menjadi alas an
pendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan, artinya kebudayaan yang
dimiliki atau yang akan dikembangkan oleh masyarakat Indonesia .
3)
Pendidikan mempunyai arah yaitu
untuk mewujudkan keperluan perikehidupan.
4)
Arah tujuan pendidikan ialah
untuk mengangkat derajat negara dan rakyat.
5)
Pendidikan yang visioner.
Kebudayaan
merupakan dasar praksis pendidikan, maka bukan saja seluruh proses pendidikan
berjiwakan kebudayaan nasional, tetapi juga seluruh unsure kebidayaan harus
diperkenalkan dalam proses pendidikan. Hal ini berarti kesenian, budi pekerti,
syarat-syarat agama (nilai-nilai agama), sastra, juga pendidikan jasmani.
Program pendidkan yang kemprehendif tersebut menuntut suatu suasana pendidikan
berbudaya yang ahanya dapat diwujudkan secara efektif dalam system pondok.
Sumber Referensi :
Hatiamh, Ihat, dkk. 2008. Pembelajaran
Berwawasan Kemasyarakatan. Jakarta
: Universitas Terbuka.
Wahyudin, Dinn,dkk. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Universitas Terbuka.
www.google.com/MENJADI MANUSIA PEMBELAJAR